politik hijau

Kebangkitan Politik Hijau 2025: Dari Krisis Iklim ke Agenda Kekuasaan

Politik

Selama bertahun-tahun, isu lingkungan sering dianggap sekadar slogan kampanye. Tapi di tahun 2025, politik hijau berubah menjadi kekuatan nyata yang menentukan arah kebijakan global.
Dari Eropa hingga Asia, partai-partai hijau mulai menembus parlemen, sementara pemerintah dipaksa merancang kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan.

Bumi yang kian panas membuat masyarakat tidak lagi sabar menunggu perubahan.
Kini, suara rakyat bukan hanya soal ekonomi atau identitas, tapi juga soal keberlangsungan hidup.


β—† Politik Hijau dan Evolusi Gerakan Lingkungan

Gerakan politik hijau berakar dari aktivisme lingkungan pada 1970-an. Namun di era modern, ide ini berevolusi β€” dari sekadar protes menjadi strategi politik yang konkret.

Partai hijau di Jerman, Skandinavia, dan beberapa negara Asia kini menjadi bagian dari pemerintahan koalisi.
Mereka membawa isu seperti:

  • Transisi energi bersih

  • Pengelolaan sampah dan daur ulang nasional

  • Perlindungan hutan dan sumber daya air

  • Pajak karbon dan investasi ramah lingkungan

Sementara itu, di Indonesia, gerakan serupa mulai muncul dari bawah β€” dari komunitas muda, LSM, hingga startup hijau yang menekan pemerintah agar lebih serius dalam menangani krisis iklim.


β—† Krisis Iklim sebagai Isu Politik Utama

Tahun 2025 disebut para ahli sebagai β€œdekade iklim terakhir.”
Suhu global sudah naik lebih dari 1,5Β°C dibanding masa praindustri.
Bencana alam semakin sering terjadi, dan dampaknya terasa langsung pada kehidupan sehari-hari.

Fenomena ini membuat isu lingkungan naik ke panggung utama politik dunia.
Banyak pemilih, terutama generasi muda, kini menilai kandidat berdasarkan kebijakan iklim mereka.
Partai yang tidak memiliki strategi lingkungan dianggap ketinggalan zaman β€” bahkan tidak relevan.

Di Indonesia, krisis seperti kebakaran hutan di Kalimantan, banjir Jakarta, dan kekeringan ekstrem di Nusa Tenggara mulai menekan kebijakan publik.
Isu ini bukan lagi β€œisu hijau”, tapi isu nasional.


β—† Teknologi dan Politik Hijau

Kemajuan teknologi berperan besar dalam mendorong kebijakan hijau.
Inovasi seperti energi terbarukan, kendaraan listrik, dan sistem smart city kini bukan hanya proyek bisnis, tapi bagian dari politik keberlanjutan nasional.

Beberapa kebijakan di Asia yang mencerminkan tren ini antara lain:

  • Jepang dan Korea Selatan menargetkan carbon neutrality 2050.

  • Uni Eropa memperketat pajak karbon lintas negara.

  • Indonesia meluncurkan Program Transisi Energi Nusantara, dengan fokus pada solar panel, angin, dan biofuel.

Namun, di sisi lain, politik hijau juga menghadapi perlawanan dari industri lama seperti batubara dan minyak.
Pertarungan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan menjadi isu panas dalam banyak sidang parlemen 2025.


β—† Peran Generasi Muda dalam Politik Hijau

Generasi Z menjadi pendorong utama kebangkitan politik hijau.
Mereka tumbuh di era digital, di mana informasi tentang krisis iklim tersebar luas dan cepat.
Bagi mereka, isu ini bukan sekadar moralitas β€” tapi eksistensi.

Aktivis muda seperti Greta Thunberg di Eropa, Dinda Nurfauziah di Indonesia, dan kelompok Fridays for Future Asia menjadi simbol perubahan.
Gerakan mereka berhasil menekan pemerintah untuk menandatangani kesepakatan global baru seperti Asia Climate Accord 2025.

Selain itu, media sosial menjadi alat utama dalam menyuarakan keadilan iklim.
Kampanye digital seperti #VoteGreen dan #ClimateIsNow menjadi senjata baru dalam perang opini politik.


β—† Tantangan Politik Hijau

Meski mendapat dukungan luas, politik hijau juga menghadapi tantangan berat:

  1. Konflik Ekonomi dan Industri
    Transisi energi bersih sering dianggap mengancam lapangan kerja di sektor fosil.
    Pemerintah harus menyeimbangkan antara ekonomi jangka pendek dan kelestarian jangka panjang.

  2. Greenwashing Politik
    Banyak partai atau kandidat hanya memakai isu lingkungan sebagai strategi citra tanpa implementasi nyata.
    Hal ini membuat publik skeptis terhadap janji β€œpolitik hijau.”

  3. Ketimpangan Global
    Negara maju mendorong standar ketat emisi karbon, tapi negara berkembang masih kesulitan menyesuaikan diri karena keterbatasan dana dan teknologi.

Untuk itu, dunia perlu pendekatan keadilan iklim (climate justice) β€” agar transisi hijau tidak hanya menguntungkan yang kaya, tapi juga memberi ruang bagi semua bangsa.


β—† Indonesia dan Masa Depan Politik Hijau

Di Indonesia, politik hijau mulai mendapat momentum.
Beberapa partai memasukkan agenda energi terbarukan dalam platform politik mereka.
Pemerintah pun mulai memperluas insentif bagi kendaraan listrik dan pajak karbon nasional.

Namun, kekuatan terbesar tetap datang dari masyarakat sipil: komunitas petani, pelajar, hingga desainer muda yang mempromosikan gaya hidup berkelanjutan.

Pemilu 2029 diprediksi akan menjadi pertarungan antara dua kekuatan besar: ekonomi konvensional vs ekonomi hijau.
Dan untuk pertama kalinya, isu lingkungan bisa menjadi faktor penentu kemenangan politik nasional.


β—† Kesimpulan: Dari Aktivisme ke Aksi Nyata

Politik hijau 2025 bukan lagi gerakan pinggiran, tapi inti dari politik modern.
Krisis iklim memaksa dunia menyadari bahwa kekuasaan tanpa keberlanjutan hanyalah ilusi.

Perubahan sedang terjadi: dari jalanan menuju parlemen, dari aktivisme menuju kebijakan.
Dan masa depan akan dimenangkan bukan oleh siapa yang paling kuat, tapi oleh siapa yang paling peduli terhadap bumi.

Karena menjaga planet ini bukan sekadar misi moral β€” melainkan bentuk tertinggi dari kepemimpinan.


β—† Referensi